" Saya telah menginvestasikan lebih dari waktu senggang saya untuk menjadi food blogger. Tapi apakah kamu tahu sebenarnya apa passion saya? "
Istilah food blogger baru berkabar setahun belakangan ini. Olehnya, setiap dimensi digambarkan, mulai dari pelayanan, kualitas, rasa, sampai desain interior untuk membentuk rangka pikiran bagi pembaca. Dalam hal ini, indikatornya jelas, subyektif dari kacamata saya (food blogger) sebagai pengunjung. Tapi apakah review yang saya tulis selalu tervalidasi? Saya pun mengerenyitkan dahi.

Positioning Itself
Ada banyak di belakang sana yang tidak terlihat oleh kasat mata. Maka, untuk menerkanya saya masuk menjadi bagian dari lingkaran. Bergelut dalam bidang Marketing Communication di salah satu restoran casual fine dining, menyuntikkan gema baru dalam pikiran saya. Ya, walaupun itu dimulai tanpa rencana.

Sebelum saya berkecimpung di bidang ini, pernah terbayangkan di benak saya. “Bagaimana restoran ini mau ramai, promosi saja tidak bisa?” Dalam perspektif berbisnis, promosi tidak semudah yang Anda bayangkan. Apalagi Anda hanya seorang karyawan. Anda harus memikirkan bentuk promosi yang menarik setiap bulannya, melakukan presentasi di depan atasan, mengemukakan mekanisme promosi, meyakinkan bagaimana promosi yang Anda buat bisa menaikkan penjualan, dan jangan kaget jika ujung-ujungnya promosi yang Anda buat terpental dan bos tidak menyetujuinya. 

Image courtesy of iStock
Belum lagi kendala dalam menentukan budget dan costing. Tak jarang Anda harus memutar otak demi mendapatkan sponsor, memikirkan cara untuk menerapkan sistem barter yang menguntungkan, dan lagi-lagi keputusan ada di tangan atasan. Masih bisa bilang berpromosi itu mudah?

Mungkin akan lebih mudah jika kitalah yang menjadi pemiliknya. Orang yang membangun potensi dan menciptakan suatu gagasan menjadi pengusaha,  tentu akan jauh berbeda ketimbang hanya menikmati hasil yang sudah ada dan kemudian mendoktrinnya lewat lisan maupun tulisan. Mengerti maksud saya? Nampaknya mudah memgomentari sebuah restoran bukan? Namun ada fase dimana saya merasakan, bermodalkan uang saja tidak cukup untuk membangun usaha.

Geliat berbisnis kemudian saya bangun bersama seorang partner yang juga masih minim dalam dunia usaha kuliner. Namun tetap tidak menggelontorkan niat saya untuk mencari tahu, seberapa keras industri kuliner itu. Lewat usaha warung tenda yang berlokasi di daerah Kelapa Gading saya menemukan jawabannya. Tidak cepat tanggap Anda akan terkikis dengan yang namanya pesaingan.

Apa yang perlu Anda terapkan? Sikap berani mengambil resikolah yang nantinya akan menuntun Anda bertahan. Berani untuk berpromosi, berani untuk bekerja di bawah tekanan, berani untuk menghadapi pelanggan, dan berani untuk malu. Mungkin akan terlihat sederhana. Inovasi sepertinya sudah jadi teori yang lazim, tapi bagaimana jika kreativitas sedang berada di jalan buntu. Yap, dengan begitu, para penulis (termasuk saya akhirnya) perlu memikirkan bagaimana sebuah restoran ataupun usaha kuliner itu dibangun sebelum akhirnya mendeskripsikannya lewat tulisan.


Writing. Is It a Hobby or Job?
Saya jadi teringat perkataan dosen saya, Helvy Tiana Rosa namanya. Beliau adalah salah satu satrawan yang saya tekuni karyanya. “Apapun profesi kamu, dokter, direktur, ibu rumah tangga, jadilah penulis. Dokter yang penulis, direktur yang penulis, ibu rumah tangga yang penulis.” Ucapnya yang seakan mendoktrin.

Konsisten dalam memadupadukan kata menjadi sebuah barisan sehingga menghasilkan kalimat lugas nan puitis. Dalam pelajaran bahasa Indonesia, saya mengenal beragam teori yang bisa diaplikasikan dalam tulisan. Empat tahun menjadi mahasiswa sastra memupuk cita-cita saya sedari kecil yakni berkarir di dunia tulis menulis.

Image courtesy of iStock
Masih dalam garis lurus, setelah lulus kuliah saya mengasah kemampuan sebagai seorang reporter di sebuah majalah yang secara umum membahas mengenai bakery, resto, dan kafe. Sebagai seorang 'anak baru', saya sadar kemampuan menulis saya yang minim. Tak ayal, saya kerap menerima umpan balik dari sang managing editor yang notabenenya adalah kepala reporter. Ia pernah mengungkapkan beberapa petuah yang sampai saat ini terus saya ingat. Semisal, "Maksimal karakter dalam satu kalimat tidak boleh lebih dari 29 karakter, 'di-' sebagai awalan dan 'di-' sebagai imbuhan, awal dan akhir paragraf yang harus berkesinambungan, dan lain sebagainya.

Lain menulis lain juga dengan fotografi. Walaupun saya mulai mengenal dan memperdalam ilmu ini saat menjadi wartawan, namun saya bukanlah seorang fotografer. Saya hanya pembidik objek yang amatir. Itu juga saya pelajari otodidak hanya untuk menunjang materi yang ingin saya sampaikan. Selebihnya, saya hanya senang mengabadikan sesuatu. Dalam hal ini kaitannya dengan makanan.

Conclusion
Pada titik ini akhirnya saya sadar, menempatkan diri di berbagai lapisan industri kuliner akan jauh lebih mudah ketimbang hanya pesimis. Bukan sekedar makan, lalu dengan lugas mengimplementasikannya dalam kata. Bahkan tak jarang menghakiminya dengan kata-kata yang tidak sedap dibaca. Seperti kata pepatah, banyak cara menuju Roma. Ada lebih dari satu cara untuk mengungkap rasa makanan tersebut bila tak sesuai ekspektasi. Misalnya dengan menyebutkan menu lain yang dianggap lebih masuk ke dalam cita rasa favorit.

Saya pun merekam beberapa 'kulit' dari ilmu menulis. "Menulis bukan hanya sekedar merangkai kata, tapi ilmu menulis merangkum segalanya. Sebagai seorang penulis, kamu harus mengusai semuanya, semua yang Anda tulis. Maka, ilmu menulis sebenarnya adalah ilmu universal yang paling luas cakupannya." Jadi sudah bisa menebak apa passion saya?

Categories: